Dilembarkan di KOMPAS edisi Jatim Kamis, 4 Maret 2010
Kita semua tahu, dua problem terbesar masyarakat adalah kemiskinan dan akses kesehatan yang berbayar tinggi. Kemiskinan dan kesehatan merupakan dua esensi yang saling berkonstitusi. Tidak dapat dilepaspisahkan. Kemiskinan yang melanda masyarakat akan membawa pengaruh yang besar terhadap kesehatan dan keselamatan hidup mereka.
Tahun ini, masyarakat miskin di Jatim akan kembali mendapatkan “ujian kesehatan”. Ujian di mana mereka harus bertarung memeras keringat, membanting tulang, dan berupaya hingga titik nadir untuk memeroleh akses kesehatan murah. Pasalnya, per 1 April mendatang, lima rumah sakit miliki provinsi akan menaikkan biaya kesehatan yang meliputi biaya perawatan, rawat jalan, dan rawat inap untuk pasien kelas III yang nota bene adalah masyarakat miskin yang tak beruang.
Kelima rumah sakit yang akan menaikkan biaya kesehatan tersebut antara lain RSUD dr. Soedono Madiun, RSU dr. Saiful Anwar Malang, RSU Haji Surabaya, RSJ Menur Surabaya, dan RSUD dr. Soetomo Surabaya (Kompas online, 26/02). Kelima rumah sakit ini berstatus sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), di mana kebanyakan masyarakat tahu bahwa rumah sakit “plat merah” ini cenderung lebih murah jika dibandingkan dengan rumah sakit swasta. Artinya, banyak sekali warga miskin yang berobat ke rumah sakit ini karena rendahnya kemampuan ekonomi mereka.
Seperti yang diberitakan koran ini, kenaikan biaya kesehatan itu didasari karena kelima rumah sakit itu harus berupa sendiri untuk menutupi biaya operasional. Selain itu, rumah sakit juga berupaya untuk tetap menjaga mutu dan akses pelayanan yang lebih luas. Sederhananya, kenaikan biaya kesehatan di Jatim ini berupaya untuk memudahkan masyarakat untuk lebih gampang berobat. Pertanyaannya, jika biaya rumah sakit yang menjadi idola masyarakat miskin itu akan dinaikkan, lantas ke mana lagi mereka harus berobat? Bukankah fenomena Ponari, si dukun tiban, dari Jombang itu cerminan kritik rakyat miskin terhadap tarif kesehatan yang teramat mahal?
Kala itu, saat praktik Ponari masih ramai dikunjungi pasien, tiap pasien bisa mengeluarkan Rp. 3000 atau uang seikhlasnya. Dengan modal antri dan tarif murah tersebut banyak pasien yang benar-benar sembuh dari penyakitnya yang menahun, seperti stroke, darah tinggi, dan kelumpuhan. Tentu saja, ini tidak akan pernah ditemukan di beberapa rumah sakit, hanya dengan tiga lembar uang seribuan mereka bisa sembuh. Apalagi di rumah sakit, tarif yang dibayar pasien telah terbebani sebagian untuk tarif listrik, maintenance (perawatan), investasi, dan peremajaan alat-alat dokter di rumah sakit. Bahkan, biaya juga berpeluang membengkak untuk menebus obat.
Subsidi
Tak dapat dimungkiri, rumah sakit pemerintah saat ini juga menyediakan layananan-layanan bersubsidi untuk masyarakat miskin. Seperti Jamkesmas, Jamkesda, dan Askes, misalnya. Ini merupakan upaya pemerintah untuk meringankan biaya kesehatan bagi warga miskin. Tetapi, agaknya kebijakan itu minim pengawasan dan evaluasi. Tidak sedikit masyarakat yang berobat dengan membawa kartu keanggotaan itu saat berobat diperlakukan semaunya dan harganya pun tidak murah.
Seperti yang dialami Budi Antoni (12 tahun), warga Nganjuk yang dirujuk ke RSUD Gambiran Kota Kediri setelah dirawat di RSUD Nganjuk lantaran jatuh dari sepeda motor pada 17 Agustus 2009. Meskipun Budi memiliki kartu Jamkesmas, toh dia masih harus mengeluarkan uang Rp. 9,4 juta.
Kasus tersebut seakan menegur kita bahwa kesehatan bagi warga yang tak berpunya merupakan sebuah mimpi utopis yang tak mungkin menjadi nyata. Seperti sebuah fatamorgana yang tak pernah didapat. Warga miskin selalu gagal mendapat pelayanan kesehatan yang layak. Berbeda dengan kalangan yang berpunya, mereka berhak menentukan pelayanan kesehatan yang diinginkan. Jika kurang puas berobat di kota, mereka bisa pindah tempat ke luar kota. Atau, melawat ke negeri tetangga dengan modal kantong tebal.
Padahal, akses kesehatan murah bagi warga miskin sudah diatur dalam undang-undang. Dari fenomena yang tengah terjadi ini hanya menegaskan bahwa yang memiliki hak untuk sehat hanyalah mereka yang berduit banyak. Tidak salah jika Eko Prasetyo menulis buku Orang Miskin Dilarang Sakit. Pasalnya, kondisi berpenyakit fisik, malnutrisi, hingga luka-luka bernanah tak ubahnya sebuah ancaman yang menakutkan hingga berujung kemelaratan. Ketidaksehatan seperti sebuah beban yang hanya dipikul oleh warga miskin. Tak masuk akal.
Minimnya akses kesehatan berbiaya rendah dan terjangkau bagi warga miskin merupakan problem lama yang jika keberlangsungannya tidak segera dicarikan solusi akan semakin menggejala menjadi tragedi kemanusiaan. Beberapa masalah serius seperti minimnya evaluasi terhadap regulasi kesehatan bersubsidi untuk warga miskin di beberapa rumah sakit seharusnya menjadi pelajaran yang mencerdaskan. Bahwa supaya hal tersebut tidak berulang kembali, perlu perhatian para pengelolan rumah sakit terhadap keluhan-keluhan masyarakat bersubsidi yang kerap “dianaktirikan” itu.
Jika memang kebijakan untuk menaikkan biaya kesehatan di lima rumah sakit provinsi Jatim tersebut benar-benar menjadi sebuah realitas di awal bulan april mendatang, maka jangan disalahkan apabila warga Jatim yang miskin kemudian beralih ke beberapa pengobatan alternatif seperti legenda yang masyhur di Jombang itu; Ponari, sang dukun tiban. Bukan tidak mungkin, bukan! (*)[related_post themes=”flat”]