Dilembarkan pada Harian Media Indonesia, 8 Maret 2008
Judul Buku: Kagum pada Orang Indonesia
Pengarang: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Progress—Yogyakarta
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: 56 halaman
Masih segar di ingatan kita mengenai perilaku arogan polisi negara bagian New South Wales, Australia, terhadap Sutiyoso. Mereka mendatangi hotel tempat Sutiyoso menginap di negara itu dan memintanya untuk memberikan keterangan mengenai peristiwa tewasnya lima wartawan Australia di Timtim (kini Timor Leste) pada 1975 silam yang dikenal sebagai Balibo Five. Tentu saja tindakan yang tak senonoh itu tidak dapat diterima karena Sutiyoso adalah pejabat negara yang resmi datang ke New South Wales atas undangan pemerintah setempat. Lima bulan kemudian setelah kejadian itu, 6 Oktober 2007, ada kejadian serupa di Malaysia. Beberapa anggota anggota RELA (Relawan Rakyat Malaysia) merazia istri Atase Pendidikan Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia, Muslinah Nurdin, ketika tengah berbelanja di sebuah mal. Yang di luar logika, ketika Muslinah memerlihatkan kartu identitas diplomat, yang notabene dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Malaysia, tak mereka anggap. Baik Sutiyoso maupun Muslinah Nurdin, di mata bangsa lain adalah sama; orang Indonesia yang memiliki stigma negatif. Bangsa lain sudah terlanjur berprasangka buruk terhadap bangsa Indonesia. Salah satu media kelas atas negeri ini pernah mengabarkan bahwa segerombolan orang Indonesia yang ada di Malaysia diasumsikan sebagai TKI ilegal. Beberapa jurnalis yang akan meliput berita di negeri orang juga mengalami kesulitan ketika masuk batas teritorial negara asing, lagi-lagi penyebabnya adalah karena mereka menyandang predikat yang sama; Indonesia. Jangan heran jika akhir-akhir ini Anda kerap mendengar warta perihal TKI yang dideportasi, dianiaya, diperkosa, diancam hukuman mati, hingga mati mengenaskan. Kejadian ini acap terjadi di negara-negara tetangga. Dan, belum ada yang mampu menghentikan itu, level pemerintah sekali pun. Padahal, negara lain, jika buruh migran yang diperlakukan kurang baik mampu membuat pemerintah dan rakyatnya marah. Prejudice negatif negara-negara tetangga yang ditudingkan pada bangsa Indonesia adalah kesimpulan yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah bangsa yang rendah. Tidak sedikit penduduk dunia membayangkan orang Indonesia mengidap penyakit bodoh yang akut, mudah sekali ditipu. Padahal, dulunya Indonesia adalah bangsa yang berperadaban besar. Dalam logika linguistik, bangsa yang berperadaban besar adalah bangsa yang memiliki simbol bahasa dengan aksara idiosinkratis, yang berbeda dengan bangsa lainnya, seperti halnya Arab Saudi, Jepang dan China. Kita lupa bahwa kita pernah memiliki hal serupa. Aksara jawa yang sudah ada sejak pemerintahan Majapahit adalah bukti bahwa Indonesia adalah bangsa yang berperadaban. Agaknya kebesaran yang dibungkus romantisme sejarah itu berhasil membuat kita terlena. Betapa tidak, alih-alih berempati pada duka lara yang terjadi di Indonesia, warga negaranya malah tidur pulas dalam glamorius duniawi. Arus globalisasi dengan jargon besarnya imperialisme dan kapitalisme tampaknya berhasil memutihkan jiwa-jiwa sosial bermasyarakat di Indonesia. Gotong-royong yang sebelumnya mampu mewujudkan kemerdekaan atas aristrokasi penjajah kini rapuh disapu animo hedonis. Semangat perdamaian yang diawali dari paham tenggang rasa juga mulai luntur digilas beragam tendensi politik. Buku Kagum pada Orang Indonesia yang ditulis oleh kyai kanjeng Emha Ainun Nadjib, atau yang biasa dikenal dengan Cak Nun, ini bisa dikatakan sebagai ungkapan insinuasi penulis dengan penuh kesadaran sikap setelah melihat fenomena seperti itu. Salah satu keunikan buku ini tidak memberikan seratus persen kritik, seperti menjelentrehkan kemiskinan harga diri bangsa Indonesia. Namun sebaliknya, ibarat mengingatkan sang guru, cak Nun berangkat dari asumsi-asumsi metafor, seperti mengurai kekayaan SDA Indonesia yang ditimbun kemudian diekspor diam-diam oleh oknum berdasi. Demikian halnya rakyatnya yang tahan banting melihat penderitaan saudaranya yang terkena busung lapar oleh kesuburan tanahnya sendiri. Ini menjadi pertimbangan utama dalam tulisan cak Nun. Bibit Unggul Mesir menciptakan teknologi perkebunan karena memimpikan lingkungan hidup seperti di Indonesia, sehingga mereka mampu menjadi eksportir apel, anggur dan mangga. Sementara Indonesia yang subur tidak perlu menjadi eksportir seperti itu, karena toh bisa menanam anggur, apel dan mangga kapan saja. Bahkan Indonesia menunjukkan kepada dunia mampu menjadi importir beras meskipun lahan persawahan dan peradaban padi suku bangsa Jawa tidak ada tandingannya di dunia. (hal. 10). Hemat cak Nun, kondisi ini menyerupai perilaku tawadlu’ sosial yang, bisa jadi, berangkat dari semangat andap ashor. Asumsi penduduk dunia perihal kampung kumuh, busung lapar dan negeri yang penuh duka lara dan kegelapan agaknya sedikit meleset. Betapa tidak, hemat penulis tidak ada satu bangsa pun di dunia ini yang mampu mengungguli Indonesia. Tak ada orang yang bersukaria melebihi orang Indonesia. Tak ada orang berjoget-joget siang malam melebihi bangsa Indonesia. Tak ada masyarakat berpesta, tertawa lepas, jagongan, kenduri, dan segala bentuk glamorius kehangatan hidup melebihi kebiasaan masyarakat Indonesia. Tak ada anggaran biaya pakaian dinas pejabat melebihi yang ada di Indonesia. Dan, budaya seperti itu sungguh memang hanya terdapat di Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Kebodohan yang merata dalam kehidupan bangsa kita di semua segmen dan strata, tidak mengurangi kebesaran bangsa Indonesia. Untuk menjadi besar, bangsa Indonesia tidak memerlukan kepandaian. Bodoh pun kita tetap besar. Dengan modal moralitas yang rendah dan hina pun bangsa kita tetap bangsa yang besar. Oleh karena itu kita tidak memerlukan kebesaran, karena memang sudah besar. (hlm. 21). Kebesaran yang ironis, demikian cak Nun merajutnya dengan kalimat metafor. Tidak menggurui hanya sekadar berempati, tidak juga memaksakan kehendak namun cak Nun langsung bertindak karena cak Nun memang dikenal intens terlibat dengan manusia Indonesia dengan beragam persoalannya maupun kecenderungan budayanya. Bahkan, pergumulan itu tidak hanya terjadi di tanah air. Cak Nun juga bertemu dengan orang Indonesia yang kebetulan berada di laur negeri, entah mahasiswa maupun TKI. Intensitas itu di sisi lain melahirkan sebuah persepsi dan pemahaman tentang siapa sebenarnya orang Indonesia. Buku ini berisikan pandangan, harapan, bahkan juga parodi cak Nun mengenai sisi-sisi kualitatif manusia Indonesia. Sejatinya, dalam kacamata cak Nun manusia Indonesia memiliki banyak potensi keunggulan, walaupun potensi itu tidak banyak didukung oleh budaya dan struktur sosial politik yang melingkupi mereka. Cak Nun kagum kepada bakat-bakat orang Indonesia. Kendati bisa juga secara satiris kagum di situ adalah kagum dalam tanda petik. Buku ini mencoba menabur benih asa terhadap potensi keunggulan itu. Selamat membaca! (*)